Breaking News

Sabtu, 17 Desember 2016

Kiat Menyediakan Waktu Bermutu Bagi Anak

SAHABAT KAAFFAH -- Bagi ibu yang bekerja, tentunya kebersamaan dengan anaknya yang berusia lima tahun ke bawah merupakan hal yang tidak mudah. Pastilah ada banyak saat yang mau tidak mau terlewatkan, karena keterbatasan waktu bertemu dan berkumpul bersama anak. Sungguh kondisi yang amat dilematis, pekerjaan jelas penting, namun mendampingi si kecil juga harus dilakukan.
Agar kedua jenis pekerjaan itu dapat tetap berjalan optimal, perlu kiat khusus dalam mengelola waktu. Si anak tetap diberi waktu bermutu (quality time) guna perkembangan potensinya agar menjadi pribadi yang lebih baik lagi, sebab waktu bermutu dapat menyemai karakter positif anak.
Untuk bisa menyediakan waktu bermutu bagi anak, ikuti kiat berikut,
Pertama, tetap memberikan pelayanan prima pada anak di rumah sepulang kerja. Abaikan rasa lelah yang mendera dengan tetap tersenyum pada anak yang telah menunggu kehadiran kita di rumah. Ingatlah selalu bahwa anak yang ada di hadapan kita adalah juga asset masa depan. Mereka calon pemimpin negeri dan bahkan bisa menjadi perantara bagi kita untuk mencapai surga-Nya.
Kedua, luangkan waktu saat bersama itu untuk saling berbagi, mengungkapkan perasaan (senang, sedih atau perasaan lainnya). Anak memiliki potensi yang sangat luar biasa dalam mendengar dan bercerita. Ia dapat mengolah perasaan yang ia miliki, sehingga inilah saatnya si kecil mengasah kepedulian terhadap ibunya. Hal ini penting agar kemampuan anak dalam berbahasa dan olah rasa semakin terasah.
Jika berharap anak terbuka, ibunyalah yang belajar berusaha terbuka. Ceritakanlah hal-hal sederhana dari pengalaman yang Anda lalui. Misal, “Hari ini perjalanan ibu menuju sekolah cukup lama lo. Soalnya jalanan macet. Banyak kendaraan yang berhenti, tapi ibu tetap semangat. Akhirnya ibu sampai deh di tempat kerja.”
Sebaiknya si ibu yang mengawali pembicaraan. Jangan menyuguhkan pada anak banyak pertanyaan berulang, seperti sudah makan belum, tadi ngapain aja, main sama siapa. Pertanyaan yang berulang setiap hari akan membuat anak merasa diinterogasi dan mungkin kemudian malas bercerita. Saat si ibu  bercerita, namun belum ada respon apapun dari si kecil, tetaplah bercerita, sebab suatu waktu nanti anak pasti akan dapat mengungkapkan perasaannya.
Ketiga, senantiasa dengarkan keinginan si anak. Jika keinginannya positif dan dapat diwujudkan sebisa mungkin bersama mewujudkannya. Namun, tidak semua keinginan boleh kita kabulkan dengan mudah, anak tetap perlu diberikan stimulus untuk senantiasa berusaha mewujudkan mimpi tersebut.
Keempat, libatkan anak dalam pekerjaan rumah tangga sehari-hari.  Selain mengasah keterampilan anak, pelibatan ini dapat menjadi wawasan pemecahan masalah bagi anak dalam berinteraksi dengan lingkungan.
Usahakan setiap proses yang dilakukan tetap berjalan menyenangkan, dan carilah pekerjaan rumah yang ringan. Misal, membantu mencuci beras sebelum dimasak, mencuci piring plastik, menyapu, mengepel, melipat baju kering  dan hal lainnya. Jika anak dirasa telah dapat melakukannya sendiri tanpa bantuan, ibu dapat memberikan kesempatan pada anak untuk melakukannya sendiri dengan pendampingan.
Kelima, buatlah kegiatan bersama lainnya. Sebagai seorang muslim, ada banyak sekali yang dapat dilakukan bersama anak, misal shalat bersama, wudhu bersama, berdoa sebelum makan bersama, dan lain sebagainya. Atau ibu juga dapat mengerjakan kegiatan bersama seperti menggambar bersama, menulis bersama atau lainnya.
Berikanlah kesempatan anak untuk bergantian meminta kita untuk melakukan apa yang dia lakukan. Misal, jika kita memberikan contoh tulisan untuk disalinkan oleh anak, anak juga dapat melakukan sebaliknya dengan memberikan contoh tulisan untuk kita salin ulang. Saat ibu menggambar maka anak yang mewarnai dan sebaliknya, saat anak menggambar maka ibu dapat menggantikan posisi anak dengan mewarnai hasil gambar si kecil. Dalam kegiatan ini, kepercayaan adalah yang utama dalam prosesnya. *
Widi Suryatiningsih, pengajar Sekolah Dasar Islam Terpadu Al-Fitrah, Bandung
Read more ...

Dampingi Anak Saat Mempelajari Keterampilan Baru

SAHABAT KAAFFAH -- Mendidik anak dalam suatu keterampilan ringan, memerlukan proses pendampingan. Misal, memberi tugas menyapu rumah. Mengapa kita seringkali tidak merasa puas dengan tugas yang dibebankan pada anak? Karena ada satu tahapan yang terlewatkan oleh orang dewasa, yakni mendampingi anak dalam menjalani proses pembelajaran tersebut.
Sebagaimana orang dewasa yang ingin menguasai suatu ketrampilan, misalnya dalam dunia kerja, awal masuk ke lingkungan baru, ia belum mengerti segala sesuatunya. Tentu saja ia perlu diajari oleh orang lain, dalam hal ini karyawan lama yang sudah lebih dulu menguasai ketrampilan tersebut, cara beradaptasi dengan suasana yang baru, cara mengoperasikan sebuah mesin, mengelola uang kas perusahaan, apa yang perlu dilakukan dalam tahapan-tahapan tersebut, dan seterusnya.
Tentu saja atasan, atau dalam hal ini karyawan senior tidak berhenti sampai di situ. Ia masih perlu melihat langsung sejauh mana pemahaman si karyawan baru dalam hal penguasaan materinya. Salah satunya dengan melepaskannya melakukan pekerjaan tersebut tanpa bantuan. Tahap berikutnya, atasan melepaskannya melakukan pekerjaan tersebut dengan pengawasan sesekali saja. Dan terakhir, pengawasan hanya dilakukan secara berkala. Sepekan sekali, sebulan sekali, atau bahkan bisa jadi hanya pada  saat menemukan kendala yang berarti di lapangan.
Apabila orang tua menginginkan keterlibatan seorang anak usia Sekolah Dasar dalam hal bantuan pekerjaan rumah tangga sehari-hari, maka hendaknya orang tua membimbingnya setahap demi setahap hingga si anak benar-benar mampu melakukannya dengan baik.
Sebenarnya tujuannya bukan saja agar anak mahir, melainkan untuk mencegah terjadinya peluang-peluang anak mangkir atau asal kerja. Mengapa ini penting, agar anak pun tahu bahwa orang tua benar-benar peduli dengan dirinya dan dengan apa yang diajarkannya. Ada kesungguhan di dalamnya, sehingga anak tidak akan menanggapinya dengan main-main.
Seperti halnya mengajari dan melatihnya melaksanakan ibadah salat. Selain pada awalnya penting mengajari tatacaranya, tak kalah pentingnya juga adalah mendampinginya dalam pelaksanaannya. Apakah sudah benar dan sesuai dengan yang diajarkan atau tidak. Nanti pendampingan bisa dikurangi frekuensinya, manakala anak sudah mulai mahir mengerjakannya, dan saat simpul-simpul saraf di otaknya sudah mulai menjalin ketrampilan atau kebiasaan baru tersebut.
Dengan memahami tahapan pembelajaran anak seperti ini, orang tua atau guru akan semakin mengerti tahapan-tahapan yang perlu dilalui untuk menanamkan sebuah perilaku tertentu pada diri anak. Sehingga tidak akan muncul lagi perasaan kecewa manakala perilaku anak tidak terbentuk sesuai dengan harapan. Kita perlu melakukan introspeksi diri, menoleh kembali ke belakang untuk mengevaluasi proses yang telah kita jalani. *
Read more ...

Senin, 05 Desember 2016

Ini Penting Bagi Ayah yang Punya Anak Balita

SAHABAT KAAFFAH- Ini berita penting bagi pasangan suami-istri yang akan segera memiliki anak atau yang sudah memiliki anak berusia kurang dari delapan bulan.
Oxford’s National Perinatal Epidemiology Unit dari Oxford University merilis temuan baru tentang peran ayah dalam penumbuhkembangan anak. Temuan itu dimuat dalam Jurnal online British Medical Journal (BMJ) Open pada 23 November 2016 lalu.
Penelitian itu menunjukkan, kedekatan emosional ayah saat anaknya lahir sampai usia delapan bulan akan mempengaruhi situasi emosi dan perilaku anak saat dewasa.
Maggie Redshaw, salah seorang anggota penelitian itu dan juga seorang psikolog perkembangan dan kesehatan di University of Oxford mengatakan, kedekatan emosi dan sikap percaya diri seorang ayah serta kesadarannya sebagai ayah dan sahabat anaknya lebih penting dari sekedar keterlibatannya dalam pengasuhan anak dan pekerjaan rumah tangga.
"Ini adalah hubungan emosional dan respon emosional untuk benar-benar menjadi orangtua yang penting sangat besar dalam kaitannya dengan hasil kemudian untuk anak-anak," kata Redshaw.
Menurutnya, keterlibatan emosional dan psikologis ayah pada masa balita anak adalah pengaruh paling kuat dalam perilaku anak di kemudian hari, bukan banyaknya waktu yang dihabiskan untuk anak atau tugas rumah tangga lainnya.
Redshaw dan rekan-rekannya menggambarkan bagaimana mereka mempelajari pengaruh ayah pada perilaku anak-anak mereka dengan menganalisis data dari studi longitudinal hubungan orang tua dan anak-anak.
Studi ini meminta orang tua untuk mengisi kuesioner tentang kehidupan anak-anaknya. Kepada para ibu, diminta untuk menilai perilaku anak mereka di sembilan dan 11 tahun, dengan pertanyaan menyelidik berbagai masalah termasuk sikap anak terhadap anak-anak lainnya, kecenderungan suasana emosi, kesediaan untuk berbagi mainan dengan teman-temannya dan kepercayaan mereka dalam situasi tertentu.
Sedangkan kepada para ayah, ditanyakan tentang pendekatan mereka dan situasi emosi pada delapan bulan setelah kelahiran anak mereka. Beberapa pertanyaan itu antara lain, seberapa sering mereka membantu dengan pekerjaan rumah tangga, seberapa yakin merasa sebagai orang tua, dan bagaimana menikmati  waktu dengan bayi.
Hasil penelitian memperlihatkan, anak-anak  yang ayahnya lebih percaya diri dan lebih memiliki emosi positif tentang perannya,  sedikit memiliki resiko perilaku pada  usia sembilan dan 11 tahun. Sebaliknya, keterlibatan ayah dalam pekerjaan rumah atau bahkan kegiatan dengan anak mereka tampaknya tidak memiliki pengaruh.
Dari penelitian itu, keterlibatan pengasuhan ayah dapat mempengaruhi anak secara tidak langsung dan menjadi sumber dukungan secara emosional pada ibu yang memang lebih banyak memberikan pengasuhan langsung pada anak.
Efek positif pada kesejahteraan ibu dan cara pengasuhan inilah yang kemudian dapat membentuk hasil yang baik pada anak. Terdapat bukti pula bahwa keterlibatan ayah dapat meringankan depresi pada ibu yang diketahui dapat meningkatkan risiko masalah perilaku pada anak.
Merespons hasil penelitian itu, Iryna Culpin dari University of Bristol, yang tidak terlibat dalam penelitian ini, mengatakan, persepsi ayah atas perannya dan keyakinan mereka sebagai seorang ayah, sangat berpengaruh penting dalam kehidupan anak-anaknya.
"Ini memiliki implikasi signifikan bagi kebijakan dalam  pengasuhan dan keterlibatan ayah sejak masa bayi, bahwa seorang ayah  harus percaya diri, memiliki emosi yang kuat, " katanya. Yanuar Jatnika
Read more ...

Peluang Bisnis Bimbel Kaaffah


Read more ...

Peluang Bisnis Osman Qur'an


Read more ...

Join Us Osman Calis


Read more ...

Peluang Usaha Bisnis Pendidikan Osman English


Read more ...
Designed Template By Blogger Templates - Powered by Sagusablog